#writingtap day 083 — Mental model: Homeostasis dan life balance.

Mungkinkah kita mencapai hidup yang seimbang? Karir, keluarga, pergaulan, apakah semuanya bisa waras?

Velika Li
2 min readOct 13, 2021

This current paradigm is still prone to change one day. Yet, aku sangat terinspirasi ketika ada coach mengatakan demikian, “Saya tidak mengejar hidup yang seimbang. Saya ingin hidup yang harmonis. Kenyataannya hidup tuh tidak bisa betul-betul seimbang, satu banding satu. 50/50? 25/25/25/25? Tidak begitu.” To which statement, I profoundly agreed. Prinsip ini berlaku bahkan pada tubuh kita. Secara fisiologis (fungsi organ), tubuh tidak pernah mencapai titik seimbang. Mekanisme tubuh kita punya tujuan yang sebisa mungkin mempertahankan kondisi yang cukup stabil untuk dapat hidup. Untuk dapat mencapai itu, tubuh kita itu punya rule yang namanya umpan-balik; atau feedback, baik itu positif atau negatif. Aku masih meyakini sampai sekarang kalau level individu saja berfungsi seperti itu, apalagi kalau level individu lalu dibawa ke ranah aktivitas dan interaksi kita.

Ilustrasi keseimbangan. Photo by Shiva Smyth from Pexels.

Misal, hidup itu ada aspek fisik, mental, keuangan, sosial, dan hiburan. Name it lah, apa yang kita masing-masing anggap penting akan berbeda. Kalau kita beraspirasi agar semua aspek itu seimbang, boleh banget. Just, at this point around, for me at least I need to realize that balance is impossible to gain. It’s like aiming for perfection. Perhaps the balance we are talking about is this concept of homeostasis: keadaan yang sebisa mungkin stabil agar dapat berfungsi dengan baik. Mengetahui kapan kita harus genjot aspek A, alih-alih B, di musim hidup X. Hal tersebut pun perlu dilakukan dengan masih memerhatikan aspek hidup lain. Meski porsi mental kita tidak memungkinkan perhatian sebanyak fokus utama kita, kita bisa membuat skala prioritas. Ketika nanti hal tersebut sudah kerasa berlebihan, di situlah umpan baliknya bekerja. “Eh, keluargamu lagi butuh waktu sama kamu tuh, make time lah.”

Kondisi homeostasis tergambar dari proses di atas. Tubuh kita akan selalu berubah dari kondisi set-point akibat kondisi eksternal. Sama halnya dengan hidup kita ketika ada kondisi eksternal, perlu ada perubahan. Corrective mechanism membuat aspek hidup akan lebih harmonis sesuai musim kehidupan kita alih-alih seimbang penuh setiap saat.

Ketika semua hal terasa penting, maka tidak ada yang penting. Kita tidak bisa menyamakan kebutuhan setiap musim yang diekspresikan dengan kesama-rataan, demi “aim for balanced life”. No. I don’t think that’s feasible. Dengan hidup yang selalu dinamis, we can, though, stay within certain range near the balance, which I call it as harmonious, homeostasis. Be perceptive to your feedback mechanism, it will do you great.

--

--

Velika Li

A nerd with varied interests. Currently reforming old habit.